Oleh : Tgk H.Helmi Imran, S.HI
Eksistensi Imam Syafi’i sebagai mujtahid muthlaq, tidak terlepas dari pengaruh perjalanan keilmuannya dari satu aliran fiqh ke aliran fiqh lainnya, sehingga melahirkan metode ijtihad yang merupakan perpaduan dari dua aliran fiqh yang berbeda. Seiring dengan banyaknya penelitian hukum yang dilakukan, mempengaruhi lahirnya fatwa revisi terhadap fatwa lama.Early Islamic Legal Theory: The Risala of Muhammad Ibn Idris Al-shafi-i (Studies in Islamic Law and Society)
Dalam berijtihad, Imam Syafi’i menggunakan Al-Qur`an, Sunnah, Ijma’, dan qiyas sebagai sumber hukum dan Imam Syafi’i sangat menekankan adanya kaitan setiap hukum dengan bukti tekstual nash-nash syar’i. disamping itu beliau merevisi fatwanya dalam bentuk qawl jadid karena menemukan dalil yang lebih kuat dan sudut pandang berbeda terhadap dalil yang sama. Menurutnya yang mesti diamalkan oleh pengikutnya adalah qawl jadid. Oleh karena itu setiap orang yang memberikan fatwa harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan Imam Syafi’i sendiri.
A. PENDAHULUAN
Dalam dataran pemahaman ulama terhadap dasar-dasar ajaran agama, perubahan merupakan suatu keniscayaan, hukum yang berdasarkan ijtihad yang lama bisa saja berubah karena adanya ijtihad yang baru. Perubahan pendapat imam mazhab berujung kepada perubahan hukum Syar’i pada hak muqallid (penganut mazhab tersebut), karena apa saja yang telah di ifta` oleh imam mazhab merupakan hukum Syar’i pada hak Muqallid.
Dalam literature sejarah, Imam Syafi’i yang lahir pada tahun 150 H, dan wafat tahun 204 H, merupakan salah seorang ulama yang melakukan perjalanan intelektual dari satu tempat ke tempat lainnya untuk melakukan diskusi dan perdebatan ilmiah. Karyanya yang sangat terkenal adalah Al-Umm (dalam bidang fiqh) dan Al-Risalah (dalam bidang ushul fiqh). Diantara pendapatnya dikenal dengan sebutan qawl qadim dan qawl jadid.
Pada tahun 170 H Imam Syafi’i berangkat ke Madinah untuk belajar pada Imam Malik Bin Anas. Di Madinah pada saat itu sedang berkembang ilmu fiqh aliran hadits yang dipelopori oleh Imam Malik Bin Anas. Beliau juga pernah menetap di Irak yang pada saat itu sedang berkembang ilmu fiqh aliran ra’yi yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah. Selama di Irak beliau menggunakan kesempatan untuk belajar pada sahabat Abu Hanifah, yaitu Abu yusuf dan Muhammad Bin Hasan Al-Syaibani. Di Irak juga Imam Syafi’i sering berdiskusi dengan dua ulama tersebut sehingga beliau lebih mengenal aliran fiqh yang berbeda dengan apa yang didapatkannya di Madinah. Dari perjalanan inilah Imam Syafi’i berhasil menyerap dua aliran fiqh dengan latar belakang yang berbeda.
Tahun 199 H Imam Syafi’i pindah ke Mesir dan beliau berkenalan dengan murid-murid Imam Al-Layts Bin Sa’ad, Imam Al-Layts merupakan sahabat Imam Malik. Disini Imam Syafi’i mengetahui seluk beluk aliran fiqh Imam Al-Layts yang menjembatani antara fiqh ahli hadits dan fiqh ahli ra’yi. Selama menetap di Mesir Imam Syafi’i banyak menemukan hadits-hadits yang baru pertama kali didengarnya, yaitu yang dinukil dari murid-murid Imam Al-Layts. Beliau juga menemukan tradisi dan peradaban baru yang tidak sama dengan apa yang dilihatnya di Irak dan di Hijaz. Semua itu mendorongnya untuk lebih banyak meneliti dan berpikir dengan tetap berpegang pada jiwa hukum syari’at. Di samping itu beliau juga sering melakukan diskusi tentang fiqh dengan metode yang berlainan dengan metode di Irak dan Hijaz. Dalam perjalanan intelektual inilah beliau menemukan hal-hal yang berbeda dari sebelumnya, sehingga penemuan ini menjadi landasan baru dalam melakukan istinbath dan akhirnya Imam Syafi’i merevisi beberapa fatwanya yang kemudian dikenal dengan istilah Qawl Jadid.
B. PROSES LAHIRNYA QAWL JADID
1. Metode Ijtihad Imam Syafi’i
Kata metode berasal dari istilah bahasa Yunani yang berarti “cara yang teratur untuk memahami suatu maksud”. Bila dikaitkan dengan dunia ilmiah, maka metode merupakan cara bagaimana memahami objek yang menjadi kajian ilmu pengetahuan. Dalam menerapkan suatu metode harus disesuaikan dan dipertimbangkan dengan lapangan studi. Artinya, memilih metode mana yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dibahas.
Hukum fiqh merupakan karya nyata hasil ijtihad para imam mujtahid. Dalam memformulasikan hukum fiqh secara rinci, mereka mengacu kepada metode berpikir masing-masing. Metode berpikir yang mereka rumuskan itu menentukan hasil ijtihadnya. Imam Syafi’i salah seorang mujtahid muthlaq, mempunyai metode sendiri. Sehingga hasil ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihad mujtahid lain dalam masalah-masalah tertentu.
Dengan demikian, metode dalam kaitannya dengan ijtihad ialah cara yang ditempuh oleh seorang mujtahid untuk memperoleh ketentuan hukum fiqh dari dalil-dalil yang terperinci. Sebagaimana yang dibahas dalam disiplin ilmu ushul fiqh.
Mengkaji metode istinbath atau ijtihad Imam Syafi’i, berarti menela’ah bagaimana cara Imam Syafi’i mengistinbathkan hukum amali dari dalil Al-Qur`an dan sunnah, serta metode apa yang dipakainya dalam menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak terdapat dalil nashnya. Kemudian bagaimana pula cara Al-Syafi’i menetapkan dalil dari nash Al-Qur`an dan sunnah. Rumusan cara berpikir Imam Syafi’i itu secara sistematis tertuang dalam kitab Al-Risalah.
Kemapanan cara berpikir Imam Syafi’i terlihat dalam penyusunan urutan dalil yang dipakainya dalam mengistinbathkan hukum, yaitu Al-Qur`an, Al-sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Dalam Al-Risalah beliau menegaskan :
وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الاجماع أو القياس
Artinya : “Dan jalan mendapatkan ilmu adalah pernyataan dalam kitab atau sunnah atau ijma’ atau qiyas”
Boleh dikatakan hampir semua mazhab mengambil kerangka berpikir yang dirumuskan Imam Syafi’i, yang dikenal dengan ushul fiqh Imam Syafi’i. diakui, pengembangan berikutnya terjadi penyempurnaan dan penjelasan yang lebih rinci sehingga memberi kemudahan dalam memahami kerangka aslinya.
Selain Al-Qur`an, Al-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas, Mazhab Syafi’i juga memakai “istishhab” sebagai metode ijtihad dalam mengistinbathkan hukum syara’ bila ketentuan hukumnya tidak terdapat pada keempat dalil hukum diatas.
Dari berbagai uraian mengenai sumber hukum yang digunakan oleh Iman Syafi’i dapat diketahui bahwa otoritas wahyu sebagai sumber hukum sangat diutamakan, tentang jalan memahami wahyu, Al-Syafi’i menjelaskan klasifikasi kata-kata. Hal ini ditetapkannya untuk menjaga kemurnian syari’ah dan bahasa Al-Quran. Menurutnya Al-Quran harus dibiarkan berbicara dengan bahasanya sendiri, dengan tujuan meminimalkan segala bentuk distorsi dalam proses interpretasi. Orang yang memiliki penguasaan bahasa Arab yang memadai saja yang berwenang melakukan interpretasi terhadap teks.
Dalam menggunakan qiyas, Imam Syafi’i menempuh jalan tengah antara mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik. Beliau tidak melonggarkan penggunaannya seperti yang dilakukan oleh Abu Hanifah, dan tidak pula mempersempitnya sebagaimana metode Imam Malik, tetapi beliau menggunakannya dengan membuat batasan-batasan tertentu.
Qiyas merupakan metode yang ia gunakan untuk mengembangkan ketetapan nash, artinya tidak ada metode penalaran lain yang dibolehkan. Sejalan dengan penegasan yang demikian, ia menolak konsep istihsan yang digunakan oleh Mazhab Hanafi sebagai sumber hukum. Secara lebih tajam ia menegaskan penggunaan istihsan adalah suatu kecendrungan mengikuti hawa nafsu. Bahkan beliau menyusun satu kitab khusus untuk menolak istihsan, yang dinamakannya dengan Kitab Ibthalu Al-Istihsan.
Adapun praktek istihsan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam menyelesaikan beberapa kasus seperti hak pesangon yang diberikan oleh suami kepada isteri yang diceraikan sebanyak tiga puluh dirham, pengambilan sumpah dengan mushaf, pembatasan berlakunya hak syuf’ah (hak pembeli pertama) selama tiga hari, dan lain-lain, maka istihsan ini bersandar kepada dalil yang jelas, bukan seperti istihsan yang dipraktekkan oleh ulama Mazhab Hanafi.
Keharusan adanya kaitan tekstual hukum di atas, mengisyaratkan pula penolakan Imam Syafi’i terhadap mashlahah mursalah, karena landasan filosofi mashlahah mursalah bahwa ada sebahagian kemaslahatan yang tidak termuat dalam nash adalah sesuatu yang keliru. Menurutnya semua permaslahan yang terjadi terhadap ummat islam sudah ada ketentuan hukumnya dalam nash, atau setidaknya ada petunjuk dari nash, bila ada ketentuannya dalam nash maka wajib diikuti, dan jika tidak ada maka jalan mencarinya adalah dengan ijtihad, ijtihad tak lain adalah qiyas.
Adapun mengenai penalaran Imam Syafi’i terhadap beberapa perkara yang mirip dengan penalaran mashlahah mursalah, maka menurutnya hal tersebut masih bisa digabungkan dalam metode qiyas. Artinya penalaran hukum semacam ini termasuk salah satu penalaran dengan qiyas.
Mengenai menjadikan pendapat sahabat Nabi sebagai sumber hukum, dalam beberapa literatur karya ulama Syafi’iyah ditemukan, bahwa Imam Syafi’i menjadikan pendapat sahabat sebagai hujjah dalam membentuk qawl qadim. Ketika membentuk qawl jadid beliau tidak menjadikannya sebagai hujjah kecuali hanya dalam perkara-perkara tauqif (perkara yang bukan bersumber dari ijtihad shahabi). Tetapi dalam pernyataan Al-Syafi’i sendiri dalam Al-Risalah dan Al-Umm yang keduanya memuat qawl jadid, terdapat penjelasan Al-Syafi’i bahwa pendapat sahabat Nabi termasuk dalam hujjah. Berikut pernyataan beliau saat ditanyakan tentang pendapat sahabat Nabi yang bukan ijma’, beliau menjawab, “kami mengambil pendapat mereka yang sesuai dengan Al-Qur`an atau Sunnah atau ijma’ atau yang lebih dekat kepada qiyas”.
Al-Syafi’i juga mengatakan, “Selama permasalahan hukum bisa ditemukan di dalam Al-Quran dan Hadits maka tidak ada jalan lain kecuali mengikutinya. Bila tidak diperdapatkan ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits, maka kami berpijak kepada pendapat para shahabat Nabi atau kepada pendapat salah seorang dari mereka”. Pada bagian lain ia menjelaskan, “Bila para sahabat Nabi berbeda pendapat, kami mengambil di antaranya yang lebih sesuai dengan makna zahir dari Al-Quran dan Hadits”. Dari beberapa ungkapan beliau dapat difahami sikap beliau dalam pengambilan pendapat shahabi sebagai hujjah. Sekaligus hal ini berseberangan dengan pernyataan para pengikutnya.
Tetapi para Ulama Syafi’iyah menguraikan secara detail, jika sesuai pendapat Al-Syafi’i dengan qawl shahabi, itu hanya karena ada dalil, seperti pendapat Al-Syafi’i dalam masalah faraidh yang sesuai dengan pendapat Zaid bin Tsabit. Menurut mereka hal ini berdasarkan pernyataan dari Rasulullah, “bahwa sahabatnya yang paling menguasai permasalahan faraidh adalah Zaid bin Tsabit”. Jadi kesesuaian ijtihad keduanya di sini, karena Al-Syafi’i berpegang kepada Hadits. Bahkan Ulama Syafi’iyah secara jelas menegaskan, kasus seperti ini cuma kebetulan saja. Dengan demikian telah ditemukan jalan tengah di antara pernyataan Al-Syafi’i dan pengikutnya dalam menjadikan qawl shahabi sebagai hujjah. Dari uraian di atas dapat diketahui dalil-dalil hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’i dan dalil-dalil hukum yang ditolak olehnya.
2. Langkah-Langkah Ijtihad
Untuk melengkapi pembahasan tentang metode ijtihad Al-Syafi’i, berikut ini penulis akan mengemukakan proses atau langkah-langkah yang ditempuh beliau dalam merumuskan hukum-hukum fiqh. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan beliau sendiri, di antaranya dalam Al-Risalah ia mengatakan :
Hukum ditetapkan dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah yang telah disepakati tanpa khilaf. Dalam hal ini kita mengatakan kami menetapkan hukum dengan benar pada zahir dan batin. Hukum juga bisa ditetapkan berdasarkan Sunnah yang diriwayatkan melalui perorangan yang tidak ada kesepakatan atasnya. Untuk hal ini kami mengatakan, kami menetapkan hukum dengan sebenarnya pada zahir saja, karena mungkin saja terjadi kesalahan pada orang yang meriwayatkan Hadits. Selanjutnya kami menetapkan hukum dengan ijma’ kemudian dengan qiyas, tetapi keberadaan hukum di sini lebih lemah dari hukum di atas disebabkan penerapan qiyas hanya boleh dilakukan dalam keadaan dharurah, karena qiyas tidak dibolehkan selama masih memperdapatkan khabar (Al-Quran dan Hadits). Sebagaimana halnya bersuci dengan tayammum dalam suatu perantauan, hanya dilakukan bila tidak mendapatkan air. Demikian juga dalil sesudah Sunnah, bisa menjadi landasan hukum bila tidak memperdapatkan Sunnah.
Dalam Al-Umm ia mengatakan :
"Ilmu itu ada beberapa tingkatan, Pertama Al-Quran dan Al-Sunnah apabila Sunnah itu sahih, kedua Ijma’ pada masalah yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur`an dan Sunnah. Ketiga perkataan sebahagian sahabat Nabi yang tidak dibantah oleh sahabat lainnya. Keempat pendapat sahabat yang diperselisihkan. Kelima qiyas kepada salah satu tingkatan di atas. Akan tetapi selama ada Kitab dan Sunnah, dalil lainnya tidak digunakan, sebab ilmu harus diambil dari sumber yang paling tinggi".
Dalam kaitan ini, Al-Syawkani mengemukakan langkah-langkah ijtihad yang menurut Imam Al-Syafi’i harus ditempuh oleh mujtahid setiap kali berhadapan dengan masalah hukum. Al-Syawkani menyatakan :
"Apabila suatu kasus ditanyakan kepada seorang mujtahid, hendaklah ia mengkaji hukumnya pada nash-nash Al-Kitab, jika tidak menemukannya di sana, hendaklah mencarinya pada nash hadits mutawatir, jika tidak ditemukan juga, ia harus mencarinya dalam nash Hadits Ahad, jika disitu juga tidak ada, ia belum boleh melakukan qiyas, tetapi mesti mencarinya pada petunjuk zahir Al-Quran, jika menemukan petunjuk zahir, ia harus pula meneliti terlebih dahulu apakah ada qiyas atau Hadits yang mentakhsiskannya, apabila tidak dalil yang mentakhsis barulah ia menetapkan hukum berdasarkan petunjuk zahir tersebut. Jika sama sekali tidak menemukan hukum dari dua sumber itu, ia mesti meneliti fatwa-fatwa dari berbagai mazhab. Jika ternyata masalahnya telah mendapatkan ijma’, maka harus mengikuti ijma’ tersebut. Jika tidak ada ijma’ ia harus melakukan qiyas. Dalam menerapkan qiyas mesti memperhatikan kaedah-kaedah umum (kulliyah) yang harus didahulukan atas kaedah khusus (juz’iyah) seperti pembunuhan dengan benda berat, maka diutamakan prinsip pencegahan terjadinya pembunuhan. Kemudian jika tidak menemukan kaedah umum maka ia perlu meneliti nash-nash dan ijma’ yang ada. Jika kasus yang dihadapinya itu termasuk dalam cakupan nash atau ijma’, ia harus memberlakukan hukum tersebut dan jika hal ini tidak ditemukan, barulah ia beralih kepada qiyas mukhil (yang ‘illahnya sesuai dengan hukum). Jika hal ini tidak dapat dilakukan karena tidak ditemukan ‘illah yang sesuai, ia harus beralih kepada qiyas Al-Syabah dan jangan berpijak kepada metode thardi (yang ‘illahnya tak diketahui segi kesesuaiannya dengan hukum). Jika tidak ditemukan juga dari semua sumber di atas, ia harus berpijak pada istishhab ashl. Ketika terjadi pertentangan di antara dalil-dalil, jalan pertama yang harus ditempuh adalah mengkompromikannya dengan metode yang dapat diterima dikalangan ulama".
Jika gagal mengkompromikannya, maka satu-satunya jalan penyelesaian adalah mengikuti metode tarjih yang sahih.
Berdasarkan kutipan dari perkataan Al-Syafi’i sendiri, dan Al-Syawkani, dapatlah dilihat bahwa langkah-langkah operasional ijtihad Al-Syafi’i adalah mencari hukum secara berturut-turut dari :
a) Nash-nash Al-Kitab
b) Nash-nash Hadits Mutawatir
c) Ijma’ ulama terdahulu
d) Nash-nash Hadits Ahad
e) Petunjuk zahir Al-Quran dan Hadits
f) Qiyas, dengan memperhatikan urutan :
1) Kaedah-kaedah kulliyah
2) Cakupan nash atau ijma’
3) Qiyas mukhil
4) Qiyas al-syabah
Dengan memeperhatikan uraian diatas, maka jelaslah langkah-langkah ijtihad yang ditempuh oleh Imam Syafi’i dalam merumuskan hukum-hukum fiqh.
3. Perubahan Fatwa Dari Qawl Qadim ke Qawl Jadid
Diantara pendapat-pendapat Imam Syafi’i adalah qawl qadim dan qawl jadid. Qawl qadim adalah pendapat atau fatwa yang dikemukakan Al-Syafi’i ketika di Irak atau sebelum berpindah ke Mesir. Perawinya yang masyhur adalah Ahmad Bin Hanbal, Al-Za’farani, Al-Karabisi, dan Abu Tsur. Fatwa-fatwa pada periode ini tertuang dalam kitab Al-Hujjah dan Al-Risalah Al-Qadimah.
Sedangkan qawl jadid ialah pendapat dan fatwa Al-Syafi’i saat menetap di Mesir. Perawinya yang masyhur adalah Al-Buwaithi, Al-Muzani, Al-Rabi’ Al-Muradi, Al-Rabi’ Al-Jaizi, Harmalah, Yunus Bin Abdul A’la, Abdullah Bin Zubir, dan Muhammad Bin Abdullah Al-Hakam. Fatwa-fatwa pada fase ini terhimpun dalam kitab Al-Umm, Al-Risalah Al-Jadidah, dan lain-lain. Bila pada suatu masalah terjadi perbedaan pendapat antara qawl qadim dan qawl jadid, maka qawl jadidlah yang diamalkan.
a. Ruang lingkup perubahan fatwa
Dalam beberapa literatur fiqh Syafi’iyah, jumlah kasus perubahan fatwa dari qawl qadim ke qawl jadid sangat bervariasi. Bentuk perbedaan pendapat yang ditandai dengan qawl qadim dan qawl jadid di dalam suatu kitab, terkadang ditandai dengan istilah yang berbeda dalam kitab yang lain, hal ini dapat mempengaruhi kepada kesulitan dalam menentukan jumlahnya secara pasti.
Melalui penelusuran sepintas terhadap kitab Minhaj Al-Thalibin saja, ditemukan tidak kurang dari 93 kasus yang ruang lingkupnya terklasifikasikan dalam empat bagian tinjauan fiqh, pertama, bidang fiqh ibadah sebanyak 41 kasus, kedua, bidang fiqh mu’amalah sebanyak 18 kasus, ketiga, bidang fiqh munakahat sebanyak 24 kasus, keempat, bidang fiqh jinayah sebanyak 10 kasus.
b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Fatwa
Dari uraian tentang dalil-dalil, dan metode istidlal pada setiap kasus, jelas sekali terlihat bahwa kajian atau diskusi yang disajikan selalu berkisar pada materi dalil yang digunakan dan cara pandang terhadap dalil sebagai sarana untuk sampai kepada kesimpulan hukum yang dimaksudkan. Hal seperti ini tidak saja terlihat pada uraian Al-Syafi’i, tetapi juga pada uraian yang diberikan oleh ulama pengikutnya, seperti Al-Mawaridi, Al-Syairazi dan Al-Nawawi.
Berdasarkan penulusuran terhadap uraian-uraian itu, yang dapat ditemukan hanyalah keterkaitan yang sangat erat antara hukum dengan dalil-dalil dari al-qur`an, sunnah, ijma’ dan qiyas.
Dari sisi ini, perubahan hukum dari qawl qadim ke qawl jadid, terjadi karena hal-hal sebagai berikut :
a). Perbedaan ayat atau sunnah yang digunakan sebagai dalil.
b). Wajh istidlal atau cara pandang dalam memahami ayat atau hadits yang sama.
c). Perbedaan pandangan terhadap adanya ijma’ tentang hukum tersebut.
d). Perbedaan hukum ashl dan ‘illah pada qiyas yang digunakan.
e). Perbedaan pandangan terhadap kedudukan qawl shahabi.
Dari beberapa contoh kasus yang ditelusuri, dapat di kemukakan bahwa dalam berijtihad, Al-Syafi’i selalu konsisten dengan metode dan kaedah-kaedah ijtihad yang dirumuskannya dalam ilmu Ushul Fiqh. Semua fatwanya, baik dalam qawl qadim maupun qawl jadid, senantiasa di sertai dengan dalil-dalil yang jelas dan dapat ditelusuri, diperiksa, dan diuji kembali kesesuaiannya dengan kaedah terkait.
Melalui tinjauan dari sudut metodologi dan aplikasinya, tampak nyata bahwa perubahan fatwa Al-Syafi’i dari qawl qadim ke qawl jadid, terkait erat dengan perbedaan dalil-dalil yang digunakan atau perbedaan wajh istidlal sesuai dengan tingkat kejelian dalam menggunakan dalil yang sama. Pada contoh-contoh tersebut jelas sekali terlihat bahwa setiap perubahan fatwa hukum, selalu terkait dengan kaedah ijtihad, materi dalil, dan wajh istidlal yang mendasarinya.
Dari penulusuran ini juga ditemukan data bahwa Al-Syafi’i dan ulama pengikutnya juga merujuk kepada hal-hal yang berkenaan dengan kondisi lingkungan, sosial atau ekonomi dalam pembahasan mereka terhadap qawl qadim dan qawl jadid.
Tetapi hal ini dibantah oleh sebahagian ulama, dengan mengemukakan alasan bahwa para ulama Syafi’iyah terutama dari generasi Ashhab Al-wujuh, tidak pernah mengatakan ini sebagai latar belakang perubahan fatwa, padahal mereka merupakan ulama Syafi’iyah yang paling tahu tentang metode-metode yang digunakan Al-Syafi’i dalam merumuskan hukum. Demikian juga tentang jarak antara Bagdad dan Mesir yang tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam kehidupan masyarakatnya.
Dalam kenyataannya meskipun perbedaan kultur masyarakat baqhdad dan mesir bukan faktor yang mendorong perubahan fatwa, tetapi perbedaan kondisi sosial dan lingkungan dengan berbagai bentuknya sangat mungkin menempati posisi penting sebagai faktor yang mendorong Al-Syafi’i melakukan kajian ulang terhadap fatwa lama. Dalam kajian ulang yang dilakukan di mesir, bila beliau menemukan dalil baru dan wajh istidlal yang dianggap lebih kuat, maka beliau merevisi fatwa yang lama. Jadi, kondisi sosial dan kultur masyarakat yang berbeda, bisa dikatakan sebagai pendorong imam Syafi’i untuk melakukan kajian ulang. Sedangkan perubahan fatwa dalam kajian ulang, didasari oleh penemuan dalil baru dan cara pandang yang berbeda terhadap dalil yang sama, yang menurut imam Syafi’i keduanya lebih kuat.
Dalam perjalanan intelektualnya, Al-Syafi’i terlihat berani untuk berada pada posisi menentang arus. Ketika di iraq, ia berhadapan dengan para tokoh-tokoh dari ahli ra’yi, dan di mesir berhadapan dengan teman-teman seperguruannya dari tokoh-tokoh ahli hadist. Kedua golongan tersebut, yang dalam kajian ushul fiqh di sebut lebih akomodatif terhadap perkembangan lingkungan, jelas telah duluan hadir dan berpengaruh atau mungkin terpengaruh oleh lingkungannya masing-masing. Seandainya Al-Syafi’i cenderung mengikuti arus lingkungan, niscaya ia tidak akan mengalami banyak pertentangan dengan para ulama dimana ia berada.
Jadi, setelah selesainya penataan kaedah-kaedah, imam Syafi’i tinggal mengaplikasikannya dalam ijtihad secara konsisten dan taat asas. Ruang Lingkup aplikasi kaedah tersebut pasti terpengaruh pada tuntutan lingkungan dan kondisi sosial, tetapi proses dan arah aplikasi kaedah itu tidah dapat di pengaruhi oleh faktor-faktor luar. Dengan demikian, ijtihad sebagai aplikasi kaedah terhadap dalil-dalil senantiasa menghasilkan hukum-hukum yang “pasti”. Tetapi penerapannya tidak sepenuhnya terlepas dari pengaruh beragam kondisi yang ada dalam masyarakat sebagai subjek hukum. Dapatlah dikatakan bahwa dalam mazhab Syafi’i, kondisi sosial hanya dapat mempengaruhi hukum pada tingat sekunder, sedangkan yang mempengaruhi hukum pada tingkat primer adalah dalil-dalil dan wajh istidlal.
c. Qawl qadim dan qawl jadid dalam perkembangan fiqh Al-Syafi’iyah
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Imam Syafi’i selama di Mesir banyak melahirkan fatwa-fatwa yang berbeda dengan fatwa lama di Baghdad. Terkadang beliau menetapkan dua pendapat dalam satu permasalahan dan langsung mentarjih salah satu keduanya, terkadang beliau membiarkan keduanya dengan tanpa tarjih, hal ini membuka peluang bagi para mujtahid dalam mazhabnya untuk melakukan tarjih.
Berkaitan dengan pengamalan qawl qadim dan qawl jadid, Imam Syafi’i menegaskan bahwa dari kedua pendapatnya ini, yang harus diamalkan adalah qawl jadid. Beliau mengatakan “ Tidak saya halalkan orang-orang meriwayatkan fatwa saya di Baghdad”. Bersamaan dengan pernyataannya ini beliau juga mengirimkan surat kepada Ahmad bin Hanbal di Baghdad untuk tidak dijadikan qawl qadim sebagai pegangan bagi siapapun. Atas dasar inilah Ahmad bin Hanbal menekankan kepada sahabat-sahabatnya agar berpegang kepada kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Syafi’i di Mesir.
Sejalan dengan pernyataan Al-Syafi’i, para ulama pengikutnya juga menegaskan demikian. Al-Nawawi umpamanya, menegaskan bahwa setiap permasalahan yang berbeda antara qawl qadim dan qawl jadid, maka yang harus diamalkan adalah qawl jadid, karena itulah yang lebih sahih dan dianggap sah sebagai mazhab Syafi’i. sebab, pada prinsipnya semua fatwa qawl qadim yang bertentangan dengan qawl jadid telah ditinggalkan (marju’anh) dan tidak dapat dipandang lagi sebagai Mazhab Al-Syafi’i.
Itulah sebabnya kitab-kitab yang ditulis oleh ulama Syafi’iyah sesudah Imam Syafi’i selalu memuat fatwa qawl jadid yang lengkap dengan dalil-dalil yang mendukungnya, serta fatwa lanjutan yang lahir sebagai pengembangan darinya yang meliputi qawl mukharraj dan pendapat Ashhab Al-Wujuh yang diperoleh dari tafri’ dan takhrij. Sedangkan fatwa-fatwa qawl qadim hanya dimuat sebagai bahan perbandingan dalam kajiannya. Al-Nawawi juga mengambil pendapat-pendapat ulama lain dalam mengukuhkan pandangan seperti ini. Di antaranya pandangan Imam Al-Haramain yang menyatakan bahwa qawl qadim bukan merupakan bagian dari Mazhab Syafi’i, karena pendapat tersebut telah ditarik oleh Al-Syafi’i sendiri. Sebab beliau telah berpegang kepada pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat lamanya. Maka pendapat yang telah ditarik itu tidak termasuk dalam mazhab.
Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya pendapat-pendapat Imam Syafi’i, telah menimbulkan dinamika mazhab yang hidup. Kondisi seperti ini membuat ruang yang luas bagi para mujtahid mazhab dan mujtahid tarjih sesudahnya untuk mengadakan pentarjihan dan memilih salah satu dari pendapatnya, serta menyeleksi dasar-dasar yang digunakan untuk pemilihan pendapat tersebut.
Selanjutnya para mujtahid dalam mazhabnya terus melakukan ijtihad. Selain upaya pengembangan fatwa-fatwa qawl jadid, ijtihad mereka juga meliputi peninjauan ulang dan penelitian kembali terhadap fatwa serta dalil dan cara istidlal yang mendukungnya. Untuk ini mereka melakukan penelusuran terhadap hadits-hadits yang semakin mudah ditemukan pada abad-abad kemudian, dan pemeriksaan terhadap qiyas yang digunakan. Melalui ijtihad yang berkelanjutan itu, mereka menemukan adanya beberapa fatwa qawl qadim yang ternyata lebih kuat dari fatwa qawl jadid, dan mereka kembali mengangkatnya dalam fatwa-fatwa. Hal ini mereka lakukan demi melaksanakan kaedah yang diucapkan oleh Al-Syafi’i sendiri, yaitu : "Bila kalian mendapatkan dalam kitab saya sesuatu yang menyalahi dengan sunnah Rasulullah Saw, maka ambillah sunnah Rasulullah dan tinggalkan perkataan saya”.
Beliau juga mengatakan :
"Apabila terdapat hadits shahih, maka itulah mazhab ku”.
Menurut Imam Al-Haramain, fatwa-fatwa ashhab yang sesuai dengan qawl qadim ini harus dipandang sebagai hasil ijtihad mereka sendiri, dan tidak mengaitkannya kepada Al-Syafi’i. Sejalan dengan ini Abu ‘Amr mengatakan, tindakan mereka memilih qawl qadim tersebut sama kedudukannya dengan pemilihan fatwa dari luar mazhab Syafi’i. Tetapi Imam Nawawi menegaskan bahwa ini hanya berlaku terhadap qawl qadim yang bertentangan dengan qawl jadid dan tidak ditopang oleh hadits shahih. Adapun jika fatwa qawl qadim tidak bertentangan dengan fatwa qawl jadid atau fatwa itu didukung oleh hadits shahih, maka qawl qadim itu adalah sah sebagai mazhab Syafi’i, karena sebenarnya Al-Syafi’i tidak mencabut fatwa ini.
Dari uraian ini dapatlah dikatakan bahwa, apa yang dilakukan mujtahid tarjih dalam menguatkan sebagian qawl qadim bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan pernyataan Imam Syafi’i, tetapi lebih kepada melestarikan kembali kaedah Imam Syafi’i, bahwa setiap ada hadits yang shahih, maka itulah mazhabnya.
C. KESIMPULAN
- Dalam penataan kaedah ijtihadnya, Al-Syafi’i menempuh jalan tengah antara aliran ahli hadits dan ahli ra’yi dengan mengambil kelebihan dan menolak kelemahan metodologi kedua aliran tersebut, sehingga mazhab Syafi’i dapat dikatakan sebagai sintesa dari dua aliran besar tersebut.
- Dalam berijtihad, Imam Syafi’i sangat menekankan adanya kaitan setiap hukum dengan bukti tekstual nash-nash Syar’i. karena didalamnya telah memuat seluruh aspek hukum yang dibutuhkan oleh manusia baik secara langsung atau tidak langsung. Sehingga beliau tidak membolehkan penggunaan nalar secara bebas.
- Faktor yang melahirkan qawl jadid adalah didominasi oleh penemuan dalil-dalil baru dan cara pandang yang berbeda terhadap dalil yang sama dalam satu masalah, dengan tanpa mengesampingkan faktor budaya dan geografis.
- Menurut Al-Syafi’i, yang mesti diamalkan oleh para pengikutnya adalah qawl jadid, karena qawl qadim merupakan pendapat yang telah dicabutnya. Kecuali dalam beberapa masalah yang ditarjih oleh mujtahid tarjih dalam mazhabnya.
- Pentarjihan sebagian qawl qadim oleh mujtahid tarjih tidak dianggap sebagai pertentangan dengan penegasan Al-Syafi’i tentang pengamalan pendapatnya, karena yang dilakukan oleh mujtahid tarjih merupakan pelestarian kaedah peninggalan Al-Syafi’i sendiri.
Catatan kaki
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Cet V, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1991) hal. 23.
Abdurrahman al-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqh,(Bandung : Pustaka Hidayah, 2000) hal. 382.
Yusuf al-Qardawi, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000), hal. 89.
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1982), hal. 649.
Koncoro Ninggrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Geramedia, 1981), hal. 16.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Ad’illahuhu, Jld. I, Cet IV, (Damsyik : Dar Al-Fikr, 2004), hal. 136.
Al-Syafi’i, Al-Risalah, (Kairo : Dar Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, n.d), hal. 39.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Cet VIII, (Jakarta : Pusta Firdaus, 2003), hal. 15.
Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul, Jld I, (Beirut : Dar Ihya’ Al-Tarats Al-Arabi, n.d), hal. 217.
Al-Syafi’i, Al-Risalah..., hal. 39.
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Jld II, Cet. I, (Beirut : Maktabah Al-‘Ashriyyah, 2006), hal. 170.
Al-Syafi’i, Al-Risalah..., hal. 505.
Ibid, hal. 507.
Al-Zarkasyi, Tansyif Al-Masami’ Bi Jam’i Al-Jawami’, Jld II, Cet I, (Beirut : Dar Kutub
Al-Ilmiyah, 2000), hal. 153.
Al-Syafi’i, Al-Risalah..., hal. 477.
Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’i, Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah Aqidah, Politik dan Fiqh, Cet I, (Jakarta : Lentera Barasmita, 2005), hal. 507.
Al-Subki, Jam’u Al-Jawami’, jld II, hal. 354. lihat juga Al-Ghazali, Al-Mustashfa, jld II, hal. 271. lihat juga Al-Zarkasyi, Tansyif Al-Masami’, jld II, hal. 154.
Al-Syafi’i, Al-Risalah..., hal. 597.
Al-Syafi’i, Al-Umm,jld VII, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1990), hal.280.
Ibid, hal. 24.
Al-Zarkasyi, Tansyif Al-Masami’, jld. II…, hal. 158.
Al-Syafi’i, Al-Risalah..., hal. 599
Al-Syafi’i, Al-Umm,jld VII..., hal.280
Muhammad Bin Ali Al-Syawkani, Irsyad Al-Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq Min Ilmi Al-Ushul, (Beirut : Dar Al-Fikr, n.d), hal. 258
Yang dimaksudkan dengan nash di sini, ialah lafadh yang secara pasti hanya menunjukkan satu arti dan tidak mungkin ditakwil kepada arti yang lain. Sedangkan zahir adalah penunjukan lafadh kepada makna dasarnya, tetapi di samping itu ada kemungkinan untuk mengartikannya dengan makna lain yang jauh dari penunjukan lafadh.
Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Jld I, (Beirut : Dar Al-Fikr, n.d), hal. 9.
Sayid Alwi Al-Saqaf, Fawaid Al-Makiyah fima Yahtajuhu Thulabat Al-Syafi’iyah, (Jeddah : Al-Haramaini sanqafurah, n.d) , hal. 55.
Ibid, hal. 56.
Fahd Abdullah Al-Habisyi, Al-Madkhal ila Mazhab Al-Imam Al-Syafi’i,(Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, n.d) hal. 54.
Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 561.
Al-Saqaf, Fawaid Al-Makiyah…, hal. 55.
Al-Syarqawi, Riwayat Sembilan…,hal. 379.
Abu Hatim Al-Razi, Adab Al-Syafi’i wa Manaqibuhu, cet. I, (Beirut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2003), hal. 46.
Al-Nawawi, Al-Majmu’, jld. I…, hal. 66.
Ibid. hal. 67.
Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 563.
Abdurrahman bin Muhammad A’lawi, Bughyah Al-Mustarsyidin, (Beirut : Dar Al-fikr, 1995), hal. 6.
Ibid. hal. 68.
PERUBAHAN IJTIHAD IMAM SYAFI’I ( Suatu Analisa Tentang Faktor Lahirnya Qawl Jadid)
Oleh : Tgk H.Helmi Imra, S.HI
Oleh : Tgk H.Helmi Imra, S.HI
(Dewan Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Ketua Prodi Ahwal Al-Syakhsyiyyah STAI Al-Aziziyah Samalanga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar