Politisi PKS
Mahfudz Siddiq:
Pengalaman represif
pemerintahan Orde
Baru di bawah
Presiden Soeharto
selama 32 tahun
sedikit banyak
membuat
masyarakat
Indonesia was-was
dengan isu
pembahasan
Rancangan Undang-
undang Intelijen.
Bahkan, tidak sedikit
yang traumatis
dengan instrumen
berbau intelijen.
Persoalannya,
kegiatan yang juga
disebut sebagai 'telik
sandi' itu adalah
aktivitas
tersembunyi,
terselubung dan
rahasia.
Hal ini
melahirkan
segudang
kekahawatiran dari
RUU yang sekarang
masih digodok di
DPR RI.
Namun, Dirjen
Perundang-undangan
Kemenkumham,
Wahidudin Adam,
dalam kapasitasnya
mewakili
pemerintah,
menjamin
penyalahgunaan
wewenang oleh
aparat intelijen
seperti
pemberangusan,
menculik, memata-
matai lawan politik
tidak akan terjadi.
Karena dalam
aturan, sudah
disediakan sanksi
yang berat bagi
mereka.
"Ya, di dalam UU
diatur batas-batas
kewenangan dan
sanksi. Kalau
menculik akan ada
sanksinya," kata
Wahidudin dalam
diskusi 'Kenapa UU
Intelijen Diperlukan?'
di Auditorium
Adhyana, Wisma
Antara, Jakarta,
Rabu 11 Mei 2011.
Soal memata-matai
lawan politik? tanya
moderator. "Jelas
ada sanksinya.
Mereka yang
menggunakan UU
Intelijen pada hal-hal
yang bukan
fungsinya. Mereka
yang membocorkan
pun akan diberi
sanksi," jawab Wahid
lagi.
Wahid
mengungkapkan
RUU Intelijen itu
sudah diusulkan
pemerintah ke DPR
sejak periode
2004-2009 yang lalu.
Akan tetapi, karena
tidak tuntasnya
pembahasan, saat
periode itu berakhir,
RUU belum juga
selesai. Sekarang,
dia berharap
rancangan itu bisa
selesai.
Dalam RUU yang
ada, akan dibahas
soal ketentuan
umum, tujuan dan
ruang lingkup,
penyelenggaraan,
kerahasiaan,
kewenangan,
pengawasan, dan
ketentuan
pidananya. "Ini
urgent, karena
kegiatan intelijen
telah ada sejak
zaman dahulu,"
lanjutnya.
Sementara, Ketua
Komisi I DPR RI,
Mahfud Shidiq
mengingatkan,
pembahasan RUU
Intelijen tidak boleh
terjebak oleh waktu,
karena menyangkut
kepentingan jangka
panjang bangsa ini.
"Jangan sampai
muncul bias
persepsi. Bagaimana
intelijen diberi
wewenang
menginterograsi 7 x
24 jam? Sorry kami
tidak bisa didikte,"
kata Mahfud.
"Ada persoalan
kepentingan nasional
yang jauh lebih besar
tapi kita belum
pernah memberi
prioritas. Misalnya
gelombang ekonomi
global," lanjut
Mahfud. (umi)
Sumber:us.wap.vivanews.com
Mahfudz Siddiq:
Pengalaman represif
pemerintahan Orde
Baru di bawah
Presiden Soeharto
selama 32 tahun
sedikit banyak
membuat
masyarakat
Indonesia was-was
dengan isu
pembahasan
Rancangan Undang-
undang Intelijen.
Bahkan, tidak sedikit
yang traumatis
dengan instrumen
berbau intelijen.
Persoalannya,
kegiatan yang juga
disebut sebagai 'telik
sandi' itu adalah
aktivitas
tersembunyi,
terselubung dan
rahasia.
Hal ini
melahirkan
segudang
kekahawatiran dari
RUU yang sekarang
masih digodok di
DPR RI.
Namun, Dirjen
Perundang-undangan
Kemenkumham,
Wahidudin Adam,
dalam kapasitasnya
mewakili
pemerintah,
menjamin
penyalahgunaan
wewenang oleh
aparat intelijen
seperti
pemberangusan,
menculik, memata-
matai lawan politik
tidak akan terjadi.
Karena dalam
aturan, sudah
disediakan sanksi
yang berat bagi
mereka.
"Ya, di dalam UU
diatur batas-batas
kewenangan dan
sanksi. Kalau
menculik akan ada
sanksinya," kata
Wahidudin dalam
diskusi 'Kenapa UU
Intelijen Diperlukan?'
di Auditorium
Adhyana, Wisma
Antara, Jakarta,
Rabu 11 Mei 2011.
Soal memata-matai
lawan politik? tanya
moderator. "Jelas
ada sanksinya.
Mereka yang
menggunakan UU
Intelijen pada hal-hal
yang bukan
fungsinya. Mereka
yang membocorkan
pun akan diberi
sanksi," jawab Wahid
lagi.
Wahid
mengungkapkan
RUU Intelijen itu
sudah diusulkan
pemerintah ke DPR
sejak periode
2004-2009 yang lalu.
Akan tetapi, karena
tidak tuntasnya
pembahasan, saat
periode itu berakhir,
RUU belum juga
selesai. Sekarang,
dia berharap
rancangan itu bisa
selesai.
Dalam RUU yang
ada, akan dibahas
soal ketentuan
umum, tujuan dan
ruang lingkup,
penyelenggaraan,
kerahasiaan,
kewenangan,
pengawasan, dan
ketentuan
pidananya. "Ini
urgent, karena
kegiatan intelijen
telah ada sejak
zaman dahulu,"
lanjutnya.
Sementara, Ketua
Komisi I DPR RI,
Mahfud Shidiq
mengingatkan,
pembahasan RUU
Intelijen tidak boleh
terjebak oleh waktu,
karena menyangkut
kepentingan jangka
panjang bangsa ini.
"Jangan sampai
muncul bias
persepsi. Bagaimana
intelijen diberi
wewenang
menginterograsi 7 x
24 jam? Sorry kami
tidak bisa didikte,"
kata Mahfud.
"Ada persoalan
kepentingan nasional
yang jauh lebih besar
tapi kita belum
pernah memberi
prioritas. Misalnya
gelombang ekonomi
global," lanjut
Mahfud. (umi)
Sumber:us.wap.vivanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar