"Apabila telah shah sesuatu hadits, maka itulah madzhabku."
Adapun yang dimaksud oleh sebagian ulama bahwa boleh beramal dengan hadits-hadits dhai'if untuk fadhaa-ilil amal atau tarhib dan targhib ialah apabila telah datang nash yang shahih secara tafshil yang menetapkan (itsbat) tentang sesuatu amal, baik wajib, sunat, haram atau makruh, kemudian datang hadits-hadits dhai'if (yang ringan dha'ifnya) yang menerangkan tentang keutamaannya (fadhaa-ilul a'mal) atau tarhib dan targhibnya dengan syarat hadits-hadits tersebut tidak sangat dha'if atau maudhu' (palsu) maka inilah yang dimaksud oleh sebagian ulama: boleh beramal dengan hadits-hadits dha'if untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib. Akan tetapi para ulama yang membolehkan tersebut telah membuat beberapa persyaratan yang sangat berat dan ketat.
Syarat pertama: hadits tersebut khusus untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib, tidak boleh untuk akidah atau ahkaam atau tafsir Qur-an. Jadi seseorang yang akan membawakan hadits-hadits dha'if terlebih dahulu harus mengetahui mana hadits dha'if yang masuk bagian fadhaail dan mana hadits dha'if yang masuk bagian akidah atau ahkaam.
Syarat kedua: hadits tersebut tidak sangat dha'if apalagi hadits-hadits maudhu', bathil, mungkar dan hadits-hadits yang tidak ada asalnya. Untuk membawakannya seseorang harus dapat membedakan derajat hadits-hadits tersebut. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang-orang yang ahli dalam hadits.
Syarat ketiga: hadits tersebut tidak boleh diyakini sebagai sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.
Syarat keempat: hadits tersebut harus mempunyai dasar yang umum dari hadits shahihSyarat kelima: hadits tersebut tidak boleh dimasyhurkan (diangkat ke permukaan sehingga dikenal umat). Imam Ibnu Hajar rahimahullahu ta'ala mengatakan bahwa apabila hadits-hadits dhai'if itu dimasyhurkan niscaya akan terkena ancaman berdusta atas nama Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.
Syarat keenam: wajib memberikan bayan (penjelasan) bahwa hadits tersebut dha'if saat menyampaikan atau membawakannya.
Syarat ketujuh: dalam membawakannya tidak boleh menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan), seperti: 'Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda' atau 'mengerjakan sesuatu' atau 'memerintahkan dan melarang' dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam benar-benar bersabda demikian. Tetapi wajib menggunakan lafadz tamridh (yaitu lafadz yang tidak menunjukkan sebagai suatu ketetapan). Seperti: 'Telah diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam' dan yang serupa dengannya dari lafadz tamridh sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam muqodimah kitabnya al majmu'syarah muhadzdzab (1/107) dan para ulama lainnya.
Jadi demikianlah, kita hendaklah tidak memudah-mudahkan meriwayatkan suatu hadits sampai kita yakin betul bahwa hadits tersebut benar-benar shahih dan apabila kita hendak membawakan hadits dha'if untuk fadhaa'ilul a'mal maka perhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama kita seperti telah disebutkan di atas. Wallahu a'lam.
Sumber:http://belajar.internetsehat.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar